top of page

APA YANG LUTUNG JAWA LAKUKAN SEBELUM PULANG

  • Christophorus Algriawan Bayu Widjanarko
  • Sep 16, 2016
  • 13 min read

Mungkin hanya hal-hal kecil dan mereka juga bukan ahlinya, tapi sekecil apapun hal yang mereka lakukan dengan tulus masih jauh lebih menyembuhkan luka daripada kajian-kajian ilmiah kampus besar.

Ristanti Putri Utami benar-benar sahabat yang baik hati! Betapa beruntungnya ketika dia menawarkan saya untuk ikut menjadi volunteer pada medical check up (MCU) lutung jawa di Javan Langur Center (JLC) milik The Aspinall Foundation. Saya langsung mengiyakan, tanpa ragu. Saya pernah terlibat dalam animal rescue dan merasa tidak enak hati. Berpartisipasi dalam animal rehabilitation akan menjadi pengalaman yang mengobati hati saya. Bersama Ristanti dan Nathanya Rizkiani (sahabat berpetualang yang lain), saya berangkat pagi-pagi ke Javan Langur Center yang kira-kira berjarak 25 km dari rumah. Di sana, kami akan menjadi asisten drh. Ida Masnur untuk melakukan pemeriksaan kesehatan lutung jawa yang akan dilepasliarkan beberapa minggu kemudian. Drh. Ida adalah dokter hewan yang bekerja di Java Primate Rehabilitation Center (JPRC) di Jawa Barat, sama seperti JLC yang berfungsi sebagai pusat rehabilitasi primata jawa milik The Aspinall Foundation, namun khusus untuk primata dengan habitat Jawa bagian barat seperti lutung jawa, surili, dan owa jawa. Banyak terima kasih saya ucapkan kepada drh. Ida dan Pak Iwan Kurniawan (manager operasional JLC) atas pengalaman ini. Saat kami sampai di JLC, persiapan sudah selesai dilakukan dan pemeriksaan siap dimulai. Saya sempat berpikir, “tepat sekali waktu kedatangan kami,” tapi kemudian berpikir, “tidak juga, harusnya kami membantu persiapannya juga.


Selain dokter hewan Ida dan pak Iwan, di sana sudah banyak wartawan yang meliput. Wajah-wajah mereka begitu familiar di ingatan saya. Banyak dari orang-orang ini yang meliput aksi stop sirkus lumba-lumba yang kami lakukan di 31 Maret 2016. Beberapa lagi bahkan tidak hanya sekali bertemu dengan saya. Ada satu wartawan yang saya hafal betul karena badannya yang tinggi besar dan rambutnya yang panjang. Sebelum bertemu disini, kami pernah bertemu saat sedang melakukan penyelamatan paus yang terdampar di Probolinggo. Sebenarnya saya tidak begitu ingat, namun saat itu mbak Weti (sahabat berpetualang yang lain lagi) memiliki ingatan seperti gajah dan memberi tahu saya. Saya tidak yakin dia mengingat wartawan itu karena pernah bertemu di Car Free Day Malang setelah aksi stop sirkus lumba-lumba, atau karena wartawan ini termasuk tipe “mas-mas gondrong” yang jadi favoritnya. Bagaimanapun, saya menaruh respek yang tinggi pada wartawan-wartawan ini. Saya ingat ketika sedang aksi, ada salah seorang “preman sirkus” menghampiri saya dan memprotes aksi yang kami lakukan. Beruntung wartawan-wartawan ini membela saya, membuat preman itu pergi dengan wajah merah padam. Satu orang lagi yang saya temui adalah mas Suwarno, Direktur Animals Indonesia (LSM yang bergerak dalam penyelamatan satwa, memiliki pusat penyelamatan satwa di Sumatera Selatan). Beliau adalah salah seorang mentor yang sangat saya hormati. Hampir seluruh pengalaman saya dalam animal campaign ada di bawah sayapnya. Satwa dan lingkungan membutuhkan lebih banyak orang seperti mas Warno, liar dan tangguh, namun di sisi lain sangat penyayang dan juga humoris.


Pemeriksaan kesehatan adalah salah satu hal pokok yang wajib dilakukan dalam proses rehabilitasi lutung jawa, terutama ketika mereka baru saja direscue dan ketika sudah siap untuk dilepasliarkan. Tahap rehabilitasi adalah tahap yang sulit dan lama. Ini semua bergantung pada seberapa bodoh lutung jawa yang datang. Istilah bodoh kami gunakan untuk menyebut satwa liar yang sudah kehilangan sifat liarnya akibat terlalu lama dipelihara oleh manusia. Mereka jadi seperti hewan peliharaan, tidak dapat mencari makan sendiri, tidak dapat mengenali predator, bahkan beberapa lutung tidak dapat bergantungan di pohon. Jika lutung yang masuk rehabilitasi masih liar, waktu rehab biasanya singkat. Tapi tidak bila lutung yang baru datang sakit, masih anakan, atau sudah tua namun sejak kecil dipelihara manusia. Lutung jawa di JLC memang berasal dari berbagai macam peristiwa. Kebanyakan adalah hasil sitaan dari warga yang memelihara atau dari pedagang satwa liar ilegal. Penyitaan umumnya dilakukan oleh LSM-LSM anti kejahatan satwa liar (anti wildlife crime) bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Setelah proses ini lutung akan langsung masuk proses rehabilitasi yang dimulai dengan tahap karantina. Pada tahap ini lutung akan dipastikan bebas dari penyakit, cedera, trauma, serta dilatih untuk membiasakan diri dengan lingkungan barunya. Pada tahap ini pula, lutung yang sakit dapat dipindah ke kandang isolasi. Apabila sembuh maka lutung akan kembali ke kandang karantina, namun apabila prognosanya buruk maka dapat dilakukan tindakan euthanasi.


Pasca karantina, lutung jawa akan masuk ke tahap rehabilitasi berikutnya yaitu tahap sosialisasi. Pada tahap ini lutung akan dipertemukan dengan individu lutung yang lain, dengan harapan dapat bergabung dalam sebuah kelompok sosial (pairing). Hal itu akan sulit pada lutung yang belum pernah bertemu dengan individu lain karena sejak kecil sudah dipelihara manusia. Mereka bisa bingung, kaget, takut hingga terkencing-kencing ketika berhadapan dengan lutung yang lain. Tapi ini penting untuk mempersiapkan mereka menghadapi alam liar nanti, sebagaimana lutung jawa memang hidup dalam kelompok-kelompok sosial. Kelompok sosial ini memang tidak dijamin akan bertahan setelah mereka dilepasliarkan, hanya digunakan untuk membantu adaptasi mereka saja. Banyak juga kelompok yang pecah ketika sudah kembali ke alam, bergabung dengan kelompok natif. Selain berfungsi untuk mencari kelompok sosial, kandang ini juga mengenalkan lutung terhadap kehidupan habitat aslinya seperti cara mengenal pakan, cara berteduh, kawin (mungkin saja), berkelahi untuk melindungi diri dan keluarga, mengenal dan menghindari predator, serta hal-hal liar lainnya.


Setelah dirasa pintar dan siap kembali ke alam liar, lutung akan diperiksa kesehatannya lagi. Apabila lutung tersebut sakit atau didiagnosa menderita penyakit (contoh: tuberculosis), maka mereka akan kembali ke kandang isolasi hingga sembuh. Namun jika kondisinya sehat, maka mereka siap dilepasliarkan. Tahap ini lah yang akan kami lakukan sekarang bersama dengan dokter hewan Ida. Ada dua kelompok dengan total individu tujuh ekor yang akan kami periksa sebelum lepas liar. Satu adalah kelompok Gimo (jantan), beranggotakan betina Ulfa dan Luna, serta kelompok Eman (jantan), beranggotakan betina Cici, Desi, dan Mimi. Dari tujuh ekor lutung tersebut, Gimo, Ulfa, dan Eman adalah yang paling saya kenal. Gimo adalah lutung jantan dewasa berumur belasan tahun, sangat mudah dikenali karena badannya yang besar dan rambut yang mulai dominan keperakan. Ulfa adalah betina yang paling tua, umurnya sudah belasan tahun juga. Warna rambutnya sudah keperakan hampir di seluruh tubuh. Ulfa memang nenek-nenek yang tangguh. Lain lagi Eman, satu-satunya lutung jawa di JLC yang berwarna emas. Eman benar-benar cakep dan liar, karena itu lah dia mudah dikenali. Lutung yang lain rasanya kembar, apalagi Cici, Desi, dan Mimi.


Eman, salah satu lutung jawa jantan berwarna emas di JLC. (Foto oleh: Widjanarko, 2016)

Lutung yang dilepasliarkan pun tidak langsung dilepas ke alamnya. Terlebih dahulu mereka melalui proses adaptasi dalam kandang habituasi. Kandang ini dibuat di tengah-tengah habitat menggunakan kontruksi kandang yang mudah dibongkar lagi (bukan kandang permanen). Lutung jawa akan tinggal dalam kandang itu selama beberapa minggu. Pada tahap tertentu pintu kandang akan dibuka, memancing kelompok untuk mulai memberanikan diri keluar dari kandang dan menjelajahi habitat baru, lalu kembali lagi ke kandang. Keadaan akan terus dibiarkan begitu hingga lutung jawa tidak kembali ke kandang lagi, barulah kandang dibongkar dan mereka resmi kembali ke alam. Tahap ini memang panjang dan sulit. Setelah release keeper masih harus tetap melakukan monitoring untuk mengawasi lutung-lutung tersebut. Monitoring bisa berlangsung hingga berbulan-bulan, dan dihentikan ketika daya jelajah lutung sudah terlampau jauh, atau yakin sifat liarnya sudah kembali. Kepastian ini sangat penting agar dapat menghindarkan lutung dari ancaman, khususnya pemburu. Usaha melindungi lutung dari pemburu tidak berhenti sampai tahap monitoring saja. Masih ada PR (pekerjaan rumah) tersulit yang harus dilakukan setiap waktu, bahkan mungkin seumur hidup: mengedukasikan upaya pelestarian lutung jawa ke masyarakat sekitar untuk bersama-sama menumbuhkan sense of belonging dan memicu masyarakat untuk ikut melestarikan primata endemik Jawa ini. Karena untuk ukuran satwa endemik dilindungi, lutung tidak terlalu populer.


Eksistensi lutung jawa di mata masyarakat Indonesia memang sungguh ironis. Cobalah membuka atlas Indonesia, di halaman terakhir ada daftar satwa-satwa yang dilindungi. Kalian bisa melihat harimau sumatera, gajah sumatera, badak bercula satu, orangutan, burung cendrawasih, dan hanya sampai situ lah pengetahuan kita mengenai satwa Indonesia yang dilindungi. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa masih ada banyak jenis satwa lain yang tidak kalah terancam, salah satunya tentu saja lutung jawa. Saya sendiri, jujur saja, baru mengenal lutung jawa saat sedang berada pada pertengahan tahun kedua kuliah di kampus kedokteran hewan Universitas Brawijaya. Saat itu saya sedang mengikuti sebuah kompetisi pengamat burung yang diadakan oleh Taman Nasional Baluran (4th Annual Baluran – PLN Birding Competition) pada 26 – 30 Juni 2013. Kami sedang berjalan di sepanjang pesisir pantai Bama, ketika kemudian saya melihat sekumpulan monyet berwarna hitam di atas pohon mengamati kami dengan waspada sambil sesekali mengeluarkan suara memekik mirip bunyi cit (sulit mendeskripsikannya) yang singkat. Sepertinya salah satu kakak tingkat saya di kampus memperhatikan saya yang tertegun, karena dia datang menghampiri lalu memberi tahu bahwa itu lutung jawa (diikuti berbagai pengetahuan lain yang benar-benar baru bagi saya). Begitulah kisah singkat pertemuan saya dengan lutung jawa, di tahun kedua kuliah, setelah seumur hidup ini tinggal di pulau yang sama.

Saya melihat hal yang sama terjadi pada generasi muda saat ini. Ketika saya menjadi volunteer dalam beberapa kunjungan ke sekolah (school visit), banyak juga anak-anak yang tidak mengenal lutung jawa. Bahkan anak-anak yang tinggal di sekitar habitat lutung jawa di daerah Coban Talun, Kota Batu, juga tak tahu. Adapun bila mereka tahu, mereka akan mengenalnya dengan nama sebutan masyarakat lokal, Lutung Budeng, namun tetap tidak tahu jika status hewan ini sudah dilindungi. Generasi 90an (orang-orang yang lahir pada tahun 1990 – 1999) dan generasi sebelumnya lebih menarik lagi dalam mendeskripsikan kata lutung, mereka akan langsung menghubungkannya dengan cerita rakyat asal Jawa Barat, Lutung Kasarung. Kisah ini bercerita tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (bumi) dalam wujud seekor lutung. Dalam perjalanannya di bumi, dia dipertemukan dengan putri Purbasari Ayuwangi yang dikutuk dan diusir oleh saudaranya, Purbararang. Lutung Kasarung begitu setia menemani Purbasari, dan bersemedi kepada para dewa agar Purbasari sembuh dari kutukan. Suatu ketika Purbararang ingin melihat adiknya, lalu terkejut melihat Purbasari sudah sembuh dari kutukan. Purbararang lalu menantang, barang siapa memiliki tunangan yang lebih tampan berhak untuk tahta kerajaan. Adapun tunangan Purbararang, Indrajaya, adalah orang yang sangat tampan. Mengetahui kesulitan yang menimpa Purbasari, sang lutung bersemedi dan permohonannya dikabulkan para dewa. Lutung Kasarung kembali mendapatkan wujud manusianya yang berwajah jauh lebih tampan dari Indrajaya. Akhirnya Lutung Kasarung dan Purbasari hidup bahagia.


Nah, jadi sekarang kita tahu dan rasanya saya boleh berasumsi. Apabila lutung jawa punah, maka hal pertama yang harus kita salahkan adalah karena pengetahuan kita tentang mereka begitu miskin. Orang-orang yang tidak tahu tentang lutung cenderung akan menyamakan mereka dengan monyet ekor panjang (Long-tailed Monkey – Macaca fascicularis), jenis monyet yang biasa dieksploitasi untuk topeng monyet (dancing monkey, hiburan kejam di Indonesia), atau disamakan dengan monyet ekor babi alias beruk (Pig-tailed Monkey – Macaca nemestrina) yang biasa dieksploitasi untuk panen kelapa. Padahal mereka adalah dua spesies yang benar-benar berbeda–dari mukanya saja berbeda. Saya harus jujur, lutung kasarung jauh lebih cakep daripada Sun Go Kong (kera sakti dalam cerita Journey to The West). Karena tidak tahu tentang status dilindunginya, orang-orang akan bersikap tidak peduli dengan hewan ini. Lutung jawa menjadi salah satu hewan yang kerap jadi sasaran pemburu, untuk dijual karena peminatnya cukup banyak. Penjualan lutung jawa secara ilegal saat ini semakin merajalela. Saya sendiri pernah terlibat dalam suatu operasi penangkapan pedagang satwa liar dilindungi di Surabaya, dan mendapati dua ekor anak lutung jawa serta empat ekor kukang jawa. Kondisi mereka saat itu benar-benar kasihan, lutung jawa benar-benar berada di ujung tanduk. Karena itu kami sering melakukan edukasi ke sekolah-sekolah untuk mengenalkan satwa-satwa endemik seperti lutung jawa pada generasi muda. Kami berharap anak-anak akan menjadi generasi yang menyelamatkan lutung jawa dari kepunahan akibat kebodohan generasi sebelumnya yang kurang peduli. Ya, children is the future.


Lutung jawa adalah primata jenis monyet daun atau leaf monkey, memiliki nama ilmiah Trachypithecus auratus, dan hanya dapat ditemukan di Indonesia (endemik Jawa). Lutung jawa memiliki dua subspesies, yaitu lutung jawa timur (Trachypithecus auratus mauritius) dan lutung jawa barat (Trachypithecus auratus auratus). Sesuai dengan namanya, lutung-lutung ini memiliki tempat hidup yang berbeda di Indonesia. Lutung jawa barat hanya ditemui di bagaian barat pulau Jawa, sedangkan lutung jawa timur dapat ditemui di Jawa bagian timur, juga Bali dan Lombok. Atas dasar ini pula, The Aspinall Foundation membuat pusat rehabilitasi lutung jawa di dua tempat, Jawa Barat tepatnya di Ciwidey, Bandung, dan Jawa Timur di kawasan Coban Talun, Kota Batu. Selain dari perbedaan habitat, mereka juga dibedakan dari warna rambutnya. Lutung jawa barat memiliki warna rambut hitam legam, sedangkan lutung jawa timur memiliki warna rambut hitam dengan ujung keperakan. Beberapa lutung juga ada yang memiliki warna rambut emas, cantik sekali. Hal ini menurut penelitian yang dilakukan oleh sahabat saya Muhammad “Ibenk” Abdillah dan Aprilia Navrati Lova, disebabkan oleh perbedaan gen. Ketika baru lahir, semua jenis lutung (kecuali yang berwarna emas) umumnya berwarna hitam keperakan dan ada corak kemerahan juga di tubuhnya. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, warna kemerahan akan hilang. Pada lutung jawa barat, warna keperakan juga akan hilang berganti hitam legam. Sedangkan pada lutung jawa timur, warna keperakan akan semakin jelas seiring dengan pertambahan usia. Karena itu lah lutung jawa timur yang sudah tua mudah dikenali dengan warna rambutnya yang dominan perak, mirip dengan manusia yang beruban ketika tua.

Lutung jawa saat ini masuk dalam IUCN Red List (International Union for Conservation of Nature) dengan status vulnerable atau rentan, juga dilindungi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lutung jawa adalah hewan folivera (pemakan daun), hidup di atas pohon dalam kelompok sosial berjumlah 6 – 23 individu per kelompok. Daya jelajahnya mencapai 2.5 – 8 hektar, bergerak dengan tangan dan kaki (quadripedal). Salah satu hal menarik tentang lutung jawa yang saya peroleh dari komunitas Sahabat Alam Indonesia (salah satu komunitas yang berbasis di Kondang Merak, Malang bagian selatan, bergerak dalam pelestarian alam) adalah mereka memiliki kedekatan emosi yang sangat baik dengan sesama lutung dalam kelompoknya. Anak lutung jawa akan terus berada di pelukan induknya hingga beberapa tahun. Ketika lelah menggendong anak, seekor induk dengan tenang akan menitipkan anaknya ke betina lain dalam kelompok tersebut. Betina yang lain itu akan menggantikan sang induk menjaga si anak lutung hingga induk selesai makan atau beristirahat. Namun apabila muncul ancaman, dengan sigap si induk akan mengambil anaknya dari betina lain lalu menyelamatkan diri. Cara hidup lutung benar-benar mirip dengan manusia. Hanya saja mereka tidak bergosip dan mencampuri urusan lutung lain, saya pikir.


Gimo adalah lutung pertama yang kami periksa. Setelah semuanya diambil dari kandang sosialisasi, dimasukan ke kandang angkut, lalu diletakan berjejer di belakang bangunan utama JLC. Di bagian belakang itu pula terdapat kandang karantina kecil tempat Sartika (anak lutung yang diselamatkan dari pedagang satwa di Wiyung, Surabaya) sedang duduk menyaksikan lutung-lutung dewasa gelisah menunggu giliran medical check up. Pegawai-pegawai JLC dengan cekatan memindahkan Gimo dari kandang angkut ke kandang jepit. Dokter hewan Ida menyuntikan beberapa cc anesthesia campuran Ketamin dan Medetomidin secara intramuskuler ke otot paha Gimo, membuatnya terduduk dan akhirnya merebahkan diri (recumbency) lemas dalam kandang. Kami juga mencatat waktu mulai pemberian anesthesi serta waktu terjadinya recumbency. Setelah ditimbang, barulah Gimo diletakan di meja pemeriksaan. Kami langsung membagi tugas, dokter hewan Ida memeriksa mata (respon pupil terhadap cahaya), telinga, serta mulut dan gigi. Saya memeriksa pulsus serta pernapasan, Nathanya memeriksa suhu, lalu Ristanti mencatat dan setelah itu kami bahu membahu melakukan morfometri atau mengukur bagian-bagian tubuh Gimo untuk recording. Pengukuran yang dilakukan diantaranya adalah: panjang lengan (PL) yang diukur dari pangkal bahu hingga pangkal telapak tangan, panjang telapak tangan (PTT) yang diukur dari pangkal telapak tangan hingga ujung jari, panjang kaki (PK) yang diukur dari pangkal paha hingga pangkal telapak kaki, (PTK) yang diukur dari pangkal telapak kaki hingga ujung jari, tinggi duduk (TD) yang diukur dari tengkuk ke tulang ekor, serta panjang ekor (PE) yang diukur dari pangkal hingga ujung ekor. Selain itu kami juga mengamati formulasi gigi, diantaranya keadaan gigi molar 1 – 3 (M1 – 3), gigi pre molar (P1 – 2), gigi taring/canine (C), panjang gigi taring atas dan bawah (PGTa dan PGTb), serta gigi seri/insicivus (I). Begitulah kami lakukan pada Gimo, dilanjutkan dengan Ulfa, Luna, Eman, Cici, Desi, dan Mimi.


Saya dan Rossa membantu dokter hewan Ida memeriksa heart rate Cici yang sudah mulai terbangun sebelum MCU selesai. (Foto oleh: Weti Nurpiana, 2016)

Lutung jawa dewasa yang sehat dengan kondisi fisiologi normal umumnya memiliki jumlah pulsus 130 – 150 kali/menit, kecuali pada anakan yang normalnya memiliki jumlah pulsus 150 – 160 kali/menit. Pulsus pada lutung jawa dapat diperiksa dengan meraba arteri radialis di pergelangan tangan, arteri brachialis di lipatan siku, atau arteri femoralis di pangkal paha bagian dalam (selangkangan). Biasanya dipilih pembuluh yang besar karena pembuluh kecil sulit terasa, atau bisa langsung mengukur heart rate pada jantung. Saat itu kami langsung menghitung heart rate menggunakan stetoskop di jantung. Saya sangat gugup ketika mengukur heart rate Gimo. Bagaimana tidak? Ada banyak wartawan yang mengamati dan mengambil foto bahkan video. Saya sampai berkali-kali memastikan posisi stetoskop di telinga saya tidak terbalik. Saya tak tahu apakah Thanya dan Tanti merasakan kegugupan yang sama. Pengukuran suhu dilakukan dengan memasukan ujung termometer steril ke lubang anus lutung jawa selama beberapa menit. Suhu normal lutung dewasa adalah 37 – 38oC, sedangkan pada anakan memiliki rentang lebih luas yaitu 36,5 – 38oC. Pengukuran respirasi dilakukan dengan mengamati (inspeksi) langsung pada kembang kempis rongga dada atau perut. Jumlah respirasi normal lutung jawa dewasa berkisar antara 57 – 65 kali/menit, sedang pada anakan 63 – 70 kali/menit. Kondisi pulsus, suhu, dan respirasi tidak hanya dipengaruhi oleh kesehatan tubuh lutung, namun juga faktor-faktor pengaruh lain seperti umur, aktivitas, dan suhu lingkungan.


Lokasi vena femoralis lutung jawa, tempat koleksi sampel darah. (Foto oleh: Eko Wahyu Wijayanto)

Selain morfometri dan pemeriksaan fisiologi standard, kami juga melakukan inspeksi dan palpasi (raba) sekujur tubuh lutung-lutung itu untuk mengamati adanya luka, cedera, atau kelainan-kelainan lain yang tidak terlihat mata, serta pemberian vitamin dan obat cacing. Dari kegiatan ini biasanya ditemui abnormalitas tulang seperti bekas patahan, atau bahkan panjang tangan yang tidak sama. Obat cacing yang digunakan adalah Ivermectin 1% dan Levamisole yang diberikan secara subcutan, sedang vitamin menggunakan Modivitasan yang diinjeksikan secara intramuskuler. Kami juga melakukan uji MOT (Mammalian Old Tuberculin) untuk mendeteksi penyakit Tuberkulosis (TBC) serta pengambilan darah. Uji MOT dilakukan dengan menyuntikan reagen MOT sebanyak 0,1 mL (135.000 Tuberculin Unit) secara intradermal pada palpebrae. Hasil uji dapat diamati pada 24, 48, serta 72 jam pasca injeksi dengan melihat tingkat kebengkakan palpebrae. Hewan yang menderita TBC ditunjukan dengan pembengkakan palpebrae yang jelas. Pengambilan darah dilakukan di vena femoralis dengan bantuan spuit. Jumlah darah yang dapat diambil dari lutung jawa dewasa normal maksimal sebanyak enam mililiter. Hal ini disesuaikan dengan aturan pengambilan darah pada hewan yaitu sebanyak satu persen (1%) dari total cairan tubuh. Cairan tubuh sendiri berjumlah 60% dari berat badan total. Pengambilan darah berguna untuk mengetahui kondisi klinis dari lutung tersebut, dengan begitu kami tidak hanya memastikan bahwa mereka sehat secara anatomi dan fisiologi saja, tapi juga dari segi diagnosa patologi klinik. Beruntungnya ketujuh ekor lutung dalam keadaan sehat dan seluruh bagian tubuhnya diprediksi dapat berfungsi dengan sangat baik. Seperti kata dokter hewan Ida, “mereka lebih dari siap buat pulang.


Setelah melewati masa-masa teler di meja periksa, lutung-lutung ini kembali dimasukan ke dalam kandang angkut. Dokter hewan Ida menyuntikan beberapa mililiter Atipemazole yang merupakan reversal dari efek sedatif Medetomidin. Segera saja hanya dalam waktu beberapa menit, lutung-lutung yang terbius mulai membuka mata. Mereka lalu mencoba menjangkau jeruji kandang dengan jari-jari yang masih lemas, berusaha menarik tubuh mereka bangun ke posisi duduk sambil mengecap lidah beberapa kali. Kami langsung sigap mencatat waktu pada form untuk menandai proses pemeriksaan telah berakhir. Tidak lupa kami memasukan beberapa dahan kaliandra, makanan favorit lutung jawa. Mimik muka mereka benar-benar lucu. Adakah mereka tahu bahwa sebentar lagi akan pulang? Iya, kurang lebih dua minggu lagi mereka akan dibawa pulang ke rumah mereka yang baru di Hutan Pesisir Kondang Merak di Malang bagian selatan. Kepada Pak Iwan, kami sudah memesan tempat untuk terlibat dalam proses menakjubkan itu, dan beliau menyambut baik. Tujuh ekor lutung akhirnya akan pergi dari rumah singgah mereka di Coban Talun. Dan saya benar-benar berharap jumlah lutung di sini akan terus menurun. Artinya, tidak akan ada lagi lutung jawa korban konflik yang harus direhabilitasi. Lebih jauh lagi, artinya tidak ada eksploitasi terhadap lutung jawa. Ya, meskipun itu hal yang nyaris mustahil untuk terjadi.


Saya melihat jauh sejenak ke lahan luas tempat ketujuh ekor lutung dibawa kembali ke kandang-kandang sosialisasi sambil memakai jaket dan menggendong tas. Lalu saya berkeliling berpamitan ke semua orang yang ada di JLC. Kepada mereka semua, saya sampaikan sampai jumpa lagi, lalu pulang dengan tenang menerobos hawa dingin sore di Kota Batu. Tiada yang lebih melegakan dibanding mengingat bahwa harapan masih ada karena orang-orang seperti Ristanti, Nathanya, Pak Iwan, Dokter hewan Ida, Mbak Weti, Rossa, dan segenap pejuang yang hari itu melewatkan hari bersama di JLC tidak akan berhenti memberikan aksi nyata bagi upaya pelestarian lutung jawa. Mungkin hanya hal-hal kecil dan mereka juga bukan ahlinya, tapi sekecil apapun hal yang mereka lakukan dengan tulus masih jauh lebih menyembuhkan luka daripada kajian-kajian ilmiah kampus besar. Dan yang paling berharga, kita sendiri turut disembuhkan (CAB).


Dari kiri: Saya, Nathanya, dan Ristanti sebelum MCU dimulai di JLC. (Foto oleh: Suwarno, 2016)

Comments


WORLDWILD INDONESIA

Malang, East Java, Indonesia

  • Instagram
  • Facebook
  • Twitter

©2016 by WORLDWILD INDONESIA. Proudly created with Wix.com

bottom of page