KAWANAN PAUS PILOT TERDAMPAR DI PROBOLINGGO
- Christophorus Algriawan Bayu Widjanarko
- Jun 16, 2016
- 15 min read
Sebagai pengalaman perdana bertemu paus di alam liar Indonesia, ini akan saya kenang sebagai salah satu tragedi yang paling buruk.

“Tampaknya saya sudah tidak waras!” Setidaknya itu yang pertama muncul di kepala saya ketika terbangun pada pagi subuh tanggal 16 Juni 2016. Malam sebelumnya tanggal 15 Juni, muncul broadcast message yang mengabarkan bahwa duapuluhan paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) terdampar di Pantai Randupitu, Desa Pesisir, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Terdamparnya kawanan paus pilot sirip pendek di daerah ini belum pernah terjadi sebelumnya, pun kemunculan kawanannya dalam kondisi hidup belum pernah ditemui. Nelayan hanya mengatakan sering bertemu dengan ikan hiu paus, tapi jenis paus seperti ini mereka tidak mengenalnya. Segera setelah broadcast message masuk, forum komunikasi Orangufriends Jatim ramai memperbincangkan apakah ada volunteer yang akan ikut dalam proses rescue. Saya telat memeriksa handphone sehingga saya hanya melakukan scanning, dan dari situ saya mengetahui bahwa yang memastikan diri akan berangkat hanya Mas Suwarno, Direktur Animals Indonesia. Selanjutnya saya melewatkan waktu hampir dua jam berpikir keras di depan komputer, menghadapi power point presentasi ujian Praktek Kerja Lapang (PKL) yang belum selesai. Hanya saja pikiran saya tidak ada di situ, saya jauh memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila saya memutuskan untuk ikut rescue atau tetap tinggal di rumah menyiapkan materi untuk ujian tanggal 17 Juni. Saya pikir ini sebuah perjudian yang berat. Bila saya berangkat, saya berkesempatan untuk memberikan pertolongan yang nyata bagi satwa namun juga kehilangan banyak waktu istirahat dan belajar untuk ujian. Bila saya tetap di rumah, saya bisa mempelajari materi dengan baik, memiliki waktu istirahat yang cukup, badan segar, namun melewatkan kesempatan untuk... melihat paus? Cukup tolol.
Dilanda kebingungan, saya menghubungi sahabat saya, Maya Innaka Arhayu (Maya adalah orang yang sangat berarti, yang tanpa dia saya tidak akan dapat menyelesaikan studi saya). Saya tidak berbasa-basi, saya katakan permasalahan yang ada dalam pikiran saya ke Maya. Awalnya saya berpikir pasti Maya akan melarang saya berangkat, pertimbangannya cukup jelas: UJIAN PKL! Tapi ternyata tidak, Maya mendukung saya untuk berangkat, bahkan lebih baik lagi, dia menawarkan untuk mengurus segala keperluan yang harus saya lakukan seperti menyiapkan konsumsi bagi dosen penguji. Tanpa basa-basi saya langsung menutup power point presentasi dan mematikan komputer. Saya katakan pada Mas Warno bahwa besok saya akan ikut, dan tampaknya langkah saya cukup memotivasi. Tak lama kemudian Mas Ibeng menghubungi saya dan berkata bahwa dia ikut juga, begitu pula Mbak Weti. Jadilah kami akan pergi berempat. Saya mencuri banyak handuk dari lemari dan memasukannya ke dalam carrier bersama dengan baju ganti, sabun, dan peralatan lain. Di grup Whatsapp, Ristanti mengirimkan berbagai jurnal dan panduan lapangan untuk rescue paus. Memang sahabat saya yang satu ini sangat pintar, dan mahir memberi semangat. Hampir tengah malam saat saya selesai menyiapkan semuanya. Saya merebahkan diri di kasur dengan berdebar-debar, berharap semua akan baik-baik saja. Itu membuat saya sulit tidur, padahal kami akan berangkat pukul lima pagi. Berbagai pikiran menghantui saya, terutama beban ujian dua hari lagi. Oh tidak – satu hari lagi, sekarang sudah tanggal 16 Juni!
Begitulah kronologis munculnya pikiran, “tampaknya saya sudah tidak waras!” yang saya sebut di awal tadi. Saya terbangun pada pukul empat dengan gelisah, tubuh saya juga terasa lemas dan kedinginan. Sambil menggeliat bangun saya teringat perkataan Mas Hardi Baktiantoro, founder Centre for Orangutan Protection (COP), “cuma orang nggak waras yang mau begini! Paham kowe?” Saya merasa geli, sudah lama saya kenal kalimat ini tapi baru sekarang saya benar-benar merasakannya. Sejenak kemudian saya sudah di lantai bawah, menggenggam secangkir susu coklat panas sambil melamun. Merasa badan sudah cukup hangat, saya langsung mandi. Guyuran airnya tidak dingin menusuk, justru malah meninggalkan rasa penat yang aneh di tubuh saya yang memang masih lemas. Pada akhirnya saya berganti pakaian dan berangkat ke kontrakan Mas Ibeng, titik kumpul kami. Saat saya dan Mas Warno datang, Mas Ibeng sedang akan melaksanakan sholat subuh. Barulah kami berangkat menjemput Mbak Weti, dilanjutkan dengan perjalanan hampir dua setengah jam menuju Probolinggo. Mas Warno mengendarai motornya seperti dikejar setan, kencang sekali! Untungnya kami tidak tersesat. Berbekal navigasi di smartphone dan bertanya orang-orang di jalan, kami sampai di tempat tujuan. Lokasi parkir terdekat menuju lokasi terdamparnya paus berada di sebuah sekolah dasar. Sudah banyak sekali tentara dan warga berkerumun di sekitar situ. Beberapa pria dewasa memasang meja dan kursi serta membatasi beberapa tempat dengan tali. Ternyata mereka membuka loket bagi siapa saja yang mau melihat paus terdampar, mau tidak mau saya tersenyum masam karena ini sungguh menggelikan.
Datang sebagai relawan membebaskan kami dari biaya yang sebenarnya tidak terlalu mahal juga. Tapi kami memberikan sedikit uang untuk ganti ongkos titip kendaraan. Kami masih harus berjalan sekitar satu setengah kilometer menuju pantai. Setengah berlari kami bertemu beberapa orang tentara yang sudah datang dari malam sebelunnya. Di dua per tiga perjalanan kami berpapasan dengan sekelompok orang yang terdiri atas dokter hewan dan beberapa mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (FKH Unair). Saya jadi kecewa kenapa kampus saya tidak mengirimkan relawan juga. Maksudnya, walau saya dan Mas Ibeng adalah mahasiswa FKH Universitas Brawijaya, namun kami datang kan tidak dengan nama mereka. Bukannya tidak mau, hanya saja kami tidak ingin (bahkan cenderung menghindari) masyarakat berharap lebih akibat embel-embel mahasiswa kedokteran hewan. Jujur saja, kami berdua adalah dua kepala kosong yang berlari menuju medan pertempuran yang tidak kami kenali. Saat kami lewati, kelompok ini sedang melakukan nekropsi (autopsi/bedah bangkai) pada salah satu bangkai paus. Kalau pantai masih berjarak satu kilometer dari sini, artinya arus pasang menyeretnya sangat jauh. Tidak mengagetkan juga karena ukuran paus yang satu ini tidak terlalu besar. Mungkin hanya berbeda sedikit dibandingkan lumba-lumba. Selanjutnya saya mengetahui bahwa ternyata rombongan ini sudah datang dari malam sebelumnya. Dokter hewan yang datang adalah anggota Asliqewan (Asosiasi Dokter Hewan Satwa Liar, Aquatik, dan Hewan Eksotik Indonesia) yaitu drh. Ayu Arie dan drh. Lina Susanti beserta mahasiswa FKH Unair yang tergabung di Kelompok Minat Profesi Veteriner Pet and Wild Animal (KMPV PW). Dari rombongan itu, saya hanya bisa mengenali Mas Happy Ferdiansyah dan Ruth Tyas Adventine, walau kami belum pernah bertemu sebelumnya. Saya mengenal Mas Happy karena beliau adalah salah satu pengamat burung yang cukup sering dibicarakan kawan-kawan di kampus. Saya juga mengikuti akun Instagramnya, karyanya memang hebat. Mas Happy juga orang yang sangat ramah, seingat saya beliau lebih dulu menyapa kami. Saya langsung menjabat tangannya dengan berlebihan. Sementara Ruth saya kenali karena dia adalah mantan ketua KMPV PW tahun 2015. Meskipun tidak pernah bertemu sebelumnya, saya berasumsi saja ketika Mas Happy memanggilnya. Mungkin saja di FKH Unair hanya dia yang punya nama Ruth kan.

Perjalanan kami berhenti di sebuah pinggir sungai yang mengarah ke pantai. Selepas tempat itu, seluruh area sudah tertutup air yang dalam. Saya sedikit kecewa, saya kira kami akan berada di pinggir pantai dengan area yang cukup luas, dipenuhi paus yang terdampar di berbagai tempat dan dikerumuni beberapa orang yang menggali pasir disekitarnya, serta beberapa lagi mengoleskan vaseline dan menyelimuti tubuh paus-paus itu dengan handuk basah. Yang kami hadapi adalah mimpi buruk. Ketika kami datang, sudah ada tiga bangkai paus berderet di tepian sungai yang sempit dan dangkal. Beberapa tentara dan warga lokal berada di dalam air mengawasi penduduk yang menonton dengan asyiknya. Tidak lama kemudian muncul perahu yang membawa paus keempat, sudah mati. Mas Warno tidak menunggu, beliau langsung pergi ke semak-semak dan berganti pakaian, lalu turun dan ikut membantu menarik bangkai itu. Mbak Weti menyuruh kami untuk turun juga. Saat saya sedang mengambil gambar, tiba-tiba Mbak Weti dan Mas Warno terdengar mengobrol santai dengan seseorang. Orang ini laki-laki paruh baya yang masih sangat tegap, gondrong, memakai baju hitam berlogo First Responder, dengan celana pendek dan bandana bermotif etnik. Beliau lah Mas Amang Tribowo, mantan kapten APE Crusader jilid pertama yang kini bekerja di Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Bersama beliau ada dua pria lain yang lebih muda, Mas Rifqi Ajier dan Mas Figur Kautsar. Saya baru berjumpa dengan mereka, tapi sudah sering mendengar kiprah mereka. Mungkin mereka adalah orang-orang yang berhasil mendapat pencapaian investigasi sirkus lumba-lumba paling baik di Indonesia.
Kami langsung akrab. Mas Amang meminta kami untuk membantu proses morfometrik sementara relawan Unair melakukan nekropsi. Saya langsung menggulung celana cargo dan memakai glove. Berbekal meteran, buku catatan, ballpoint, serta kamera kami melakukan morfometrik sambil memeriksa setiap bagian dari tubuh bangkai-bangkai ini. Bangkai paus ini sudah mulai berbusa, tubuhnya juga mulai membengkak akibat panas dan akumulasi gas didalamnya. Pada beberapa bagian terlihat kulit tipis yang menggelembung akibat gas dan panas, membuat saya penasaran tentang apa yang terjadi ketika gelembung di kulit itu ditusuk. Seorang relawan langsung menjawabnya. Dia menusuk gelembung itu dan tidak terjadi apa-apa kecuali kulit yang meletus tanpa suara dan kembali kempis dengan keriput. Beberapa bangkai memiliki luka, kulit tergores dan mengelupas di mana-mana. Saya penasaran bagaimana mereka mendapatkan luka itu. Sebelum atau sesudah terdampar? Akankah itu yang membuat mereka mati? Namun saya dapat mengenali beberapa luka baru, yang menurut saya didapat akibat tergores pohon atau ranting ketika mereka disapu ombak pasang menerobos pagar bakau. Ada satu ekor lagi yang memiliki luka yang membusuk di kulit mereka. Luka itu membuat sebuah cekungan kecil yang cukup mengerikan karena didalamnya ada banyak parasit yang belum saya ketahui. Apakah parasit yang berbentuk seperti kutu namun jauh lebih besar itu berasal dari dalam tubuh paus, atau berasal dari luar? Mengingatnya membuat saya bergidik lagi. Pun membayangkan ketika itu saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang paus. Berbagai pertanyaan yang muncul di pikiran saya biarkan berlalu saja. Mencoba menjawabnya hanya akan membuat saya bagai semut yang coba mengerti wujud seekor gajah dengan cara mengelilingi tubuhnya. Benar-benar percuma dan tidak berdasar! Saya pun mulai meraba dan mengukur. Tidak pernah sekalipun dalam hidup saya membayangkan dapat memegang paus secara langsung, dan kini saya dihadapkan pada beberapa ekor sekaligus yang sudah jadi bangkai. Sebagai pengalaman perdana bertemu paus di alam liar Indonesia, ini akan saya kenang sebagai salah satu tragedi yang paling buruk.

Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki cukup banyak mamalia laut di perairannya. Hal ini dikarenakan perairan Indonesia masuk dalam jalur migrasi mamalia laut, terutama di Indonesia bagian timur mencakup perairan timur Flores, pulau-pulau Solor, Lembata, Pantar, dan perairan Alor. Tercatat sekitar 30 ekor spesies Cetacean (Ordo Cetacea) dapat dijumpai di perairan Indonesia (lebih dari sepertiga jumlah spesies paus dan lumba-lumba seluruh dunia). Beberapa contoh spesies yang terkenal tentu saja lumba-lumba hidung botol (Tursiops trucantus), lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik (Tursiops aduncus), spesies lumba-lumba terbesar Orcinus orca alias paus orca/paus pembunuh, spesies paus balin seperti: paus bungkuk (Megaptera novaeangliae), paus sirip (Balaenoptera physalus), paus biru (Balaenoptera musculus) yang langka, serta jenis paus bergigi seperti: paus sperma (Physeter macrocephalus), dan tentu saja paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus), serta masih banyak lagi. Ah, sedikit melebar dari topik awal, di Indonesia juga ada tradisi adat berburu paus sperma lho. Tepatnya di Desa Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat meneruskan tradisi berburu paus yang dimulai oleh nenek moyangnya. Sebelum berburu, mereka akan melaksanakan upacara dan misa kepada leluhur untuk mengenang arwah nenek moyang yang gugur di medan bahari bergelut dengan sang paus. Sungguh.. sulit mengungkapkan pendapat saya, tapi saya harus pergi kesana suatu hari nanti. Ancaman utama pada paus dan lumba-lumba selain perburuan (whaling) diantaranya penangkapan sengaja (untuk sirkus satwa/animal show), penangkapan yang tidak disengaja (bycatch), terdampar (stranded), serta kerusakan habitat yang saat ini makin parah oleh pemanasan global (global warming).

Seperti yang kita ketahui, jenis paus yang terdampar adalah paus pilot sirip pendek. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Taylor et al. (2011) (klik untuk download Globicephala macrorhynchus. The IUCN Red List of Threatened Species), paus pilot sirip pendek adalah jenis paus bergigi yang hidup di perairan tropis yang beriklim hangat di berbagai penjuru dunia, di perairan yang terletak antara 50 derajat Lintang Utara hingga 40 derajat Lintang Selatan. Paus ini sebenarnya sangat sulit dibedakan dari kerabat dekatnya, paus pilot sirip panjang (Globicephala melas), hanya saja berukuran lebih kecil. Paus pilot sirip pendek merupakan salah satu spesies natif di Indonesia. Habitat umumnya terletak di perairan lepas pantai yang dalam. Tidak adanya data yang valid mengenai jumlah populasi paus ini membuatnya masuk dalam kategori Deficient Data (DD) alias data kurang di IUCN RedList, namun sudah tercatat dalam list appendix II di CITES. Data yang mencatat kejadian terdampar bagi paus pilot sirip pendek di Indonesia juga tidak ditemukan, mungkin kejadian di Probolinggo ini satu-satunya kasus yang pernah tercatat. Kasus ini juga mungkin menjadi kasus dengan jumlah paus terdampar terbanyak di Indonesia, yaitu sebanyak (berdasarkan info terakhir dari Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan) 32 ekor, dengan jumlah total yang mati sebanyak dua belas ekor. Jumlah paus yang terdampar dan yang mati memang simpang siur. Banyak versi muncul dari banyak mulut. Pada saat info pertama muncul pada 15 Juni, dikabarkan ada 29 ekor paus terdampar dan tujuh diantaranya mati. Pagi harinya tanggal 16 Juni lebih banyak lagi paus yang ditemukan. Beberapa pihak yang terlibat dalam penyelamatan juga menyatakan sulit menentukan jumlah pastinya. Hal itu disebabkan tidak dilakukan recording pada paus yang sudah ditemukan sebelumnya. Karena itu kita tidak dapat memastikan apakah paus yang ditemukan terdampar pada tanggal 16 adalah paus yang benar-benar baru ditemukan, atau paus yang sebenarnya sudah ditemukan di tanggal 15 yang berhasil dikembalikan ke laut namun terdampar lagi.

Kami pun mulai mengukur. Saat kami mengukur, lebih banyak lagi bangkai berdatangan. Morfometrik hanya kami lakukan pada sembilan ekor paus yang teridentifikasi mati dan telah ditempatkan ke lokasi pendamparan, dua paus lain yang mati saat itu masih membutuhkan crosscheck karena letaknya berbeda. Sedangkan dua puluh paus yang lain tidak dilakukan morfometrik karena berhasil dilepas kembali ke perairan. Kami melakukan pengukuran panjang total yaitu panjang dari ujung kepala hingga ujung sirip caudal, tinggi sirip dorsal, panjang sirip pectoral, serta masih banyak lagi termasuk identifikasi jenis kelamin dan penghitungan gigi. Masih tajam di memori kala saya diharuskan memasukan tangan ke dalam celah di sebelah caudoventral tubuh paus, lalu menariknya lagi bersama dengan segenggam alat kelamin paus jantan yang bentuknya cukup aneh. Jangan minta saya menjelaskannya, karena (walau demi ilmu pengetahuan) saya tidak ingin mengingat bentuk barang yang satu itu. Mas Ibeng tertawa saja melihat ekspresi saya. Pada akhirnya data yang benar-benar digunakan dalam laporan hanya panjang total dari masing-masing paus. Hasil morfometri menunjukan bahwa paus pilot yang terdampar memiliki panjang tubuh antara 258 – 453 cm. Menurut buku Panduan Penanganan Mamalia Laut Terdampar (klik untuk download Panduan Penanganan Mamalia Laut Terdampar) dari Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, mamalia laut terdampar yang mati berpotensi membawa bakteri, virus, dan parasit yang beresiko sangat fatal bagi manusia dan hewan disekitarnya. Penanganannya tidak boleh dilakukan oleh wanita hamil, anak-anak, atau orang dengan luka di tubuh. Penangan pun harus menggunakan pelindung-pelundung standard seperti masker, gloves, bahkan mungkin pakaian khusus ala astronot. Paus bergigi seperti paus pilot ini juga menumpuk organoklorin dan logam berat pada tingkat melebihi banyak spesies lain sehingga konsumsi daging dan organnya akan sangat membahayakan. Hmm, lagipula saya memang akan mengutuk siapapun yang mengonsumsi daging paus. Maksud saya, tempe kan masih enak! Mengonsumsi daging paus berarti mendukung perjalanan mereka ke arah kepunahan akibat whaling.

Laporan kejadian mamalia laut yang terdampar memiliki beberapa hal penting untuk dicatat, diantaranya: nama dan jenis satwa yang terdampar, kondisi (hidup/mati/membusuk, berenang/terapung/ terdampar), informasi pelapor, serta informasi waktu dan tempat. Informasi itu baiknya dilengkapi dengan gambaran pemeriksaan fisik (luka/gigitan/jaring, dll.), data morfologi jenis kelamin, perkiraan usia, perkiraan panjang, lebar, serta beratnya. Jauh lebih baik bila dilengkapi dengan foto yang memperlihatkan keseluruhan proporsi tubuh sebelah kiri, bagian kepala meliputi proporsi letak mata, mulut, lubang pernapasan (blowhole), bagian atas kepala, serta dokumentasi ekor. Semua data yang disajikan dalam laporan akan membantu persiapan rescuer untuk memutuskan tindakan apa saja yang akan dilakukan, terutama bila lokasi terdamparnya sulit dijangkau. Misalnya, ketika ada laporan paus biru terdampar di perairan sebelah barat daya Taman Nasional Ujung Kulon yang hanya bisa diakses dengan tiga jam berjalan kaki, maka informasi akurat sangat diperlukan. Keadaan paus yang hidup, mati, atau membusuk; berenang, terapung, atau terdampar kan membutuhkan perlakuan berbeda, dan tentu saja peralatan yang berbeda juga. Mamalia laut yang terdampar dalam kondisi mati memiliki nilai yang tinggi untuk ilmu pengetahuan. Beberapa informasi dapat digali dengan pengambilan sampel kulit, daging, hati, lemak, ginjal, gigi, telinga, dll). Partisipasi dalam pengumpulan sampel dalam kejadian terdampar sangat penting. Bangkai paus yang mati dapat ditangani dengan tiga cara, yaitu ditenggelamkan (sea burial), dibakar, atau ditanam di tanah atau pantai (land burial). Sea burial merupakan cara yang paling baik karena bangkai mamalia laut yang mati dapat berkontribusi positif bagi ekologi dasar laut dengan menyediakan sumber makanan bagi biota laut. Cara ini dilakukan dengan mengeluarkan gas dari dalam tubuh bangkai, memasukan pemberat ke dalamnya, lalu ditenggelamkan pada perairan lepas dengan kedalaman minimal 20 meter.
Selesai dengan proses morfometri, kami berempat memutuskan untuk ikut melakukan pencarian paus di perairan sekitar. Kami berkeliling menggunakan perahu motor kecil yang disebut ketinting di Kalimantan. Ini juga menjadi pengalaman pertama saya yang lain, belum pernah naik perahu yang lebih kecil dari ini. Bapak pemilik ketinting mengatakan layaknya perahu ini dinaiki tiga orang, namun hari itu kami berlima pergi berlayar juga. Yang lebih parah, Mas Ibeng meminta izin untuk mengambil alih kemudi kapal. Ini gila! Dia bahkan tidak punya surat izin mengemudi kendaraan bermotor! Dan kini mengendarai perahu kecil (yang menurut saya cukup rapuh) di tengah perairan lepas yang sedang padat oleh lalu lintas paus pilot sirip pendek. Mengerikan. Saya tidak mengagendakan untuk berenang dengan paus hari itu. Lagipula saya belum bisa berenang. Mbak Weti dan Mas Ibeng boleh terus menertawakan saya dan Mas Warno yang semakin pucat setiap perahu sedikit miring, tapi perjalanan saat itu bagi saya sungguh keren. Kami bergerak perlahan sejauh kira-kira dua ratus meter hingga akhirnya keluar dari hutan bakau. Menurut pandangan saya pasang surut air laut terjadi begitu jauhnya di sini. Kawanan paus pertama yang ditemukan terdampar kemarin berada sekitar ratusan meter dari pagar bakau paling luar. Pagi ini seluruh tempat itu tertutup air hingga kedalaman 3 – 5 meter. Saya tidak tahu apakah ini normal atau tidak, namun jelas mengejutkan saya. Lalu kami pergi ke lokasi yang menurut si pemilik perahu merupakan tempat di mana sempat ditemukan paus yang hidup. Namun penduduk yang kurang paham mengenai tata cara penanganan mamalia laut terdampar mengikatnya pada bagian ekor dengan harapan paus ini tidak pergi kemana-mana sementara mereka mencari bantuan. Nahas, bantuan yang lama datang membuat paus ini lebih dulu mati akibat panas. Cuaca hari itu memang membakar kulit.

Kami pun kembali berkeliling. Beberapa menit mengelilingi hutan bakau, tiba-tiba kami bertemu dengan perahu nelayan lain yang sedang berhenti di batas hutan bakau. Perahu nelayan yang ini jauh lebih besar, dan mengangkut jauh lebih banyak orang. Beberapa orang berenang di celah-celah bakau, sibuk menarik sesuatu yang besar dan hitam. Kami berusaha menggerakan perahu sedekat mungkin agar bisa melihat dengan jelas. Saya tahu itu paus, tapi saya penasaran apakah pausnya masih hidup atau sudah mati. Ketika sudah berada di jarak pandang yang jelas, saya baru bisa melihat kulit tubuh paus ini banyak mengelupas menunjukan bagian kulit dalam yang sudah memutih. Seorang lelaki kekar yang berenang di sebelahnya berteriak dalam bahasa Madura ke perahu besar sambil melambai-lambaikan tangan. Orang-orang di perahu menanggapinya dengan cukup santai. Saya jadi paham kalau paus itu sudah mati. Dua orang lain membantu lekaki itu menarik paus keluar dari hutan bakau, satu lagi melemparkan tali tambang yang besar dari dalam perahu. Mereka mengikatkan tali itu di ekor paus, sementara ujung lainnya diikatkan ke tiang perahu. Nampaknya paus ini akan ditarik ke pendamparan, dikumpulkan untuk didata. Dengan begitu jumlah paus yang mati menjadi dua belas ekor. Kami pun ikut kembali ke pendamparan. Air di pendamparan sudah lebih surut saat itu, membuat tanah penuh dengan lumpur yang licin dan semakin menyulitkan kami dalam mengevakuasi paus. Saat kami kembali, tampak kelompok dari Unair sudah berada di pendamparan juga. Mereka sedang melakukan nekropsi pada bangkai yang lain. Kami pun membantu proses pengambilan sampel. Tidak banyak, hanya membantu mengisikan formalin untuk mencegah organ yang dikoleksi membusuk. Kami lakukan semuanya sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Hal itu sedikit membuat kami melupakan tragedi hari ini.
Kami terus bekerja hingga waktu menunjukan hampir pukul sebelas siang. Kelompok Unair memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu. Kami bertahan sedikit lebih lama. Saya dan Mas Ibeng mencari dedaunan untuk menutup bangkai-bangkai yang baru saja dibedah. Masyarakat yang menonton sungguh tidak memedulikan himbauan tentara yang ada di lokasi. Mereka turun dan berdiri sangat dekat dengan bangkai, mengambil foto, video, tanpa memedulikan kenyataan bahwa itu bisa sangat beresiko bagi mereka. Beberapa bahkan membawa anaknya yang masih balita. Karena tidak tahan, saya pun berbicara pada salah seorang tentara yang berjaga. Beliau langsung mengangguk, nampaknya kaget juga ketika membalikan badan dan melihat banyak orang sudah berdiri terlalu jauh dari batas yang beliau sendiri tetapkan. Ekspresinya cukup lucu, kelihatannya beliau terlalu asyik membantu proses evakuasi hingga lupa pada jobdesc utamanya. Caranya menghalau massa agar menyingkir dari tempat kejadian jauh lebih menarik lagi. Beliau berbicara dengan suara lantang, mengatakan bahwa paus-paus ini membawa penyakit yang berbahaya dari Australia! Oh iya, rasanya saya juga mendengar beberapa anak menggumamkan kata “awas penyakit Australia!” sambil mundur memperingatkan teman mereka yang baru datang. Anak-anak yang baru datang pun terpaksa mundur dengan raut muka benar-benar kecewa. Orang-orang dewasa mulai bergerak membuat usaha mereka untuk berjinjit mencari celah mengintip jadi sia-sia. Kami pun ikut kembali. Kulit serasa terbakar dan tanpa sadar perut sudah sangat keroncongan. Jahat sekali daritadi tidak ada yang menyediakan konsumsi barang sebotol air. Ah, kami lupa! Ini kan bulan puasa Ramadhan!
Hingga kini kami berempat belum tahu pasti apa penyebab paus-paus ini terdampar. Bisa saja diakibatkan faktor-faktor alami seperti patologis internal akibat keberadaan parasit di organ syaraf, badai matahari, badai biasa yang menyebabkan kelelahan, gempa bumi, atau akibat produktivitas dari suatu perairan sedang meningkat sehingga mereka mengejar mangsa hingga ke perairan dangkal. Atau diakibatkan oleh faktor-faktor yang dibuat manusia seperti menelan SAMPAH PLASTIK yang dibuang ke laut (kasus paus Bryde di Cairns tahun 2007), gangguan sistem navigasi oleh suara bising di laut akibat aktivitas manusia (tambang, pengeboran, dll.), atau global warming. Intinya, kita semua bisa bantu mencegah hal-hal seperti ini terjadi dengan tidak memperparah kerusakan lingkungan. Membantu menjaga kebersihan pantai dan laut adalah sebuah keharusan bagi kita yang tinggal di negara perairan. Kita lah laut yang dihubungkan oleh pulau-pulau! Tuan rumah Indonesia bukan lah kita, manusia, namun mereka yang tinggal di laut mulai dari permukaan hingga dasar-dasar terdalamnya. Lucu melihat bagaimana makhluk yang berperan paling sedikit dalam pemasanan global justru mendapatkan dampak yang paling besar.
Setelah membersihkan tubuh dan beristirahat sembari mengobrol, saya dan Mas Ibeng pun memutuskan untuk pulang lebih dulu ke Malang. Saat itu sudah hampir pukul tiga sore. Beberapa orang kembali ke laut. Saya sempat mendengar dua paus lagi ditemukan, membuatnya jadi empat belas ekor. Tapi saya tidak menuliskannya lebih jauh karena yang satu ini belum dikonfirmasi ulang. Teman-teman dari JAAN dan iAnimals akan tinggal hingga beberapa hari ke depan untuk memantau dan memastikan kawanan paus yang sudah dilepas tidak akan kembali lagi. Malam ini juga relawan Orangufriends yang lain, dua adik kembar saya terkasih, Grace Tania dan Sankha Rossa, akan datang untuk membantu evakuasi esok hari bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saya harap mereka cepat menemukan alfa yang baru. Tanpa pemimpin, mereka akan membuat lautan jadi tempat yang berbahaya bagi Mas Ibeng yang belum punya surat izin mengemudi haha.. Walaupun begitu, toh saya tetap memintanya bergantian mengemudikan sepeda motor dalam perjalanan kami ke Malang saat itu. Saya begitu lelah. Saya tahu dia juga pasti sangat lelah, tapi coba tebak siapa yang harus ujian besok pukul sembilan pagi? Saya. Setelah seharian berkutat dengan paus, besok saya akan menyibukan diri dengan segala materi tentang buaya muara. Tentu suatu hari nanti akan saya ceritakan pengalaman dengan reptil ganas itu. Nanti setelah saya beristirahat sejenak, ya. Masih ada slide presentasi yang harus saya selesaikan malam ini dan ujian untuk dihadapi esok hari. Tapi dengan senang hati saya akan beritahukan endingnya: Saya dapat nilai A! (CAB)

Kommentare